“Pak Kiai, saya mohon dijelaskan, kenapa Pak Kiai ikut-ikutan demo menentang kontes Miss World?”
“Saya tidak ikut-ikutan ! Saya sangat sadar dengan apa yang saya lakukan. Ini kewajiban kita sebagai Muslim,”.
“Kewajiban yang mana, Pak Kiai?”
“Harusnya sebagai lulusan pesantren kamu tahu. Ini kan kewajiban al-amaru bil-ma’ruf wal-nahyu ‘anil munkar.
Kita wajib menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Itu salah
satu pilar ajaran agama kita. Bahkan, kata Imam al-Ghazali, itu yang
menentukan hidup matinya umat Islam. Kata Nabi kita Shallallahu ‘alaihi
Wassalam, siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaknya ia berusaha
mengubah dengan kekuatannya. Jika tidak mampu, dengan kata-kata atau
pikirannya; dan jika tidak mampu juga, cukup dengan hati. Jadi, minimal,
ingkar dan tidak ridho terhadap kemungkaran. Kamu kan paham akan hadis
Nabi itu !
Santri terdiam. Ia tampak
gelisah. Kiai seperti memahami kondisi pemikiran mantan santrinya itu.
Ia menduga, mantan santrinya telah menjadi korban propaganda jaringan
pendukung Miss World. Dengan kekuatan uang, media massa, dan lobi-lobi politik yang dimilikinya, panitia Miss World cukup mampu membangun citra mulia atas tindakannya di tengah masyarakat.
Karena itu, Kiai pun tak heran jika ada sebagian organisasi Islam
bahkan oknum ulama yang berselingkuh mendukung kontes Miss World.
Sambil memandangi wajah dan gerak-gerik anggota tubuh santrinya, Kiai Marwan mencoba membaca pemikiran salah satu santri yang dulu sempat dibanggakannya itu. Dibiarkannya saja
santrinya bergulat dengan pemikirannya, sampai santrinya sendiri buka mulutnya.
“Maaf Pak Kiai, apa yang Pak Kiai maksud dengan ‘mungkar’. Apa kontes Miss World ini termasuk mungkar? Dimana letak kemungkarannya?”
“Ya ! Justru kontes Miss World
dan sejenisnya ini kemungkaran yang sangat canggih, terencana dengan
rapi. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran ini dibungkus dengan
propaganda hebat, sehingga tercitrakan sebagai sebuah kebaikan bagi
bangsa kita. Bukan hanya kontesnya yang bermasalah, tapi
mengkampanyekan, bahwa bentuk maksiat seperti itu adalah kebaikan bagi
bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Ibaratnya, melacur itu
dosa; korupsi itu dosa. Tapi mengatakan bahwa melacur itu adalah amal
sholeh. Itu lebih besar kejahatannya. Coba kamu baca tafsir QS at-Taubah
ayat 31.”
“Saya masih belum mengerti jalan pikiran Pak Kiai. Bukankah
mereka sudah tampil dengan sangat sopan dan tidak melanggar etika dan
norma budaya kita?”
“Mengapa Pak Kiai senyum-senyum?”
“Kamu itu santri cerdas, yang mestinya sudah memahami
masalah seperti ini. Mengapa kamu sampai termakan propaganda-propaganda
dengan logika yang dangkal seperti itu? Harusnya kamu paham tentang
kiat-kiat setan dalam menipu dan menyesatkan manusia, sebagaimana
disebutkan dalam banyak ayat al-Quran.”
Santri masih terdiam. Wajah Kiai dipandanginya, diam-diam. Tetap saja wajah itu menyungging senyuman.
“Begini …. Saya maklum, kamu bisa terjebak. Ada juga pejabat
yang kuliahnya di Timur Tengah pun ikut menyarankan agar peserta kontes
Miss World itu mengenakan kebaya. Ia tidak dengan tegas menolak kontesnya. Hanya bajunya yang dia persoalkan.”
“Bukankah itu saran yang bagus Pak Kiai?”
“Saran itu tidak cukup dan tidak mendasar. Yang mendasar pada masalah kontes Miss World
ini adalah konsep dan cara pandang terhadap manusia dan martabatnya.
Ini kontes tubuh manusia! Yang ikut kontes itu manusia; bukan anjing
atau kucing. Kita orang Muslim punya cara pandang yang khas
terhadap manusia. Seorang manusia disebut manusia karena akalnya, karena
jiwanya. Kita memberikan nilai tinggi kepada manusia juga karena
ketinggian iman, akhlak, dan amalnya. Kata Nabi saw: sebaik-baik manusia
adalah yang memberikan kemanfaatan kepada manusia. Pada dasarnya, orang
cantik, jelek, normal, cacat, itu kehendak Allah. Itu bukan prestasi.
Kecantikan itu anugerah dan sekaligus ujian dari Allah. Karena itu,
tidak patut dilombakan! Jangan kamu buat, misalnya, kontes mulut
termonyong, lomba bibir terlebar, dan sebagainya! ”
“Tapi, Pak Kiai, bukankah yang dinilai dalam Miss World bukan hanya kecantikannya, tapi juga kecerdasan dan perilakunya?”
“Cobalah pikir ! Sederhana saja !
Di Indonesia ini, perempuan yang memiliki prestasi kecerdasan tinggi
itu berjubel; ribuan jumlahnya. Mereka-mereka sudah mengharumkan nama
bangsa di berbagai forum ilmiah internasional. Mereka melakukan
riset-riset ilmiah dan sukses membuat temuan-temuan hebat di bidang ilmu
pengetahuan. Prestasi intelektualnya jauh di atas perempuan yang
terpilih jadi miss Indonesia itu!”
“Peserta Miss World ini juga harus punya proyek sosial, Pak Kiai, bukan kecantikan saja yang dinilai?”
“Itu juga bukan hal yang inti !
Kalau mau cari perempuan Indonesia yang sangat mulia, yang berjasa
besar kepada keluarga dan masyarakatnya, terlalu banyak di negeri ini.
Bukan sekedar buat proyek insidental. Bukan sekedar show amal, tapi kehidupan mereka sehari-hari sudah bergelut dengan kerja-kerja mulia untuk kemanusiaan.”
Santri terdiam. Ia sebenarnya memahami logika Kiainya. Tapi ia belum bisa menerima logika itu sampai harus membatalkan Miss World di Indonesia. Sebab, faktanya, Miss World memang mendatangkan manfaat. Indonesia jadi lebih dikenal dunia. Peserta Miss World pun ikut mempromosikan budaya Indonesia. Jadi, kecantikan punya nilai tambah tersendiri. Cukup lama santri merenung di depan Sang Kiai. Hatinya bergolak. Ia sudah terlanjur menulis dalam blog-nya, bahwa kontes Miss World di Indonesia kali ini benar-benar membawa manfaat bagi bangsa.
“Begini Pak Kiai…. Indonesia ini kan bukan negara Islam. Mengapa Pak Kiai selalu bawa-bawa Islam untuk menilai kontes Miss World? Ini kan masalah bangsa?”
“Siapa yang mengatakan Indonesia bukan negara Islam? Kalau
bukan negara Islam, lalu Indonesia negara apa? Apa negara kafir? Kamu mikir, Santrinya! Jangan hanya ikut-ikutan buat pernyataan seperti orang-orang yang kurang memahami sejarah bangsa kita!”
“Lho apa memangnya, Indonesia ini negara Islam, Pak Kiai?”
“Dengar baik-baik! Indonesia ini negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sudah ditegaskan oleh para perumusnya,
bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah Subhanahu Wata’ala,
sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Juga
latar belakang rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah sebagai ganti
dari tujuh kata yang dihapus dalam Piagam Jakarta. Ringkasnya, Indonesia
ini Negara berdasar atas Tauhid, sebagaimana konsep Islam. Itu
ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo!”
“Tapi Pak Kiai, itu kan menurut Pak Kiai yang Islam. Bagaimana dengan warga Indonesia yang beragama lain?”
“Kamu itu orang Islam atau bukan!? Bukankah seharusnya kamu berpikiran semacam itu, sebagai orang Islam. Kalau soal orang non-Muslim, itu urusan mereka. Kita hormati cara berpikir mereka.”
“Ya benar. Hanya saja, Pak Kiai… kita ini kan warga Negara
Indonesia yang plural, tidak bisa memaksakan nilai-nilai Islam kita
kepada yang lain?”
“Yang memaksakan itu siapa? Kita tidak memaksa siapa-siapa.”
“Itu buktinya, Kiai memaksakan kontes Miss World dibatalkan!”
“Penyelenggara yang memaksakan kontes munkar itu diadakan di Indonesia. Mereka tidak sensitif dengan aspirasi umat Islam Indonesia. Di Masa Pak Harto, mengirimkan wakil ke Miss-miss-an
seperti itu saja dilarang. Apalagi jadi tuan rumahnya! Ini sangat
keterlaluan, mentang-mentang punya uang dan media! Acara ini juga
sangat mudah memicu prasangka dan konflik bernuansa ras dan agama. Ini
yang tidak kita kehendaki. Karena itu, jauh-jauh sebelum acara ini
berlangsung, saya sudah mengingatkan penyelenggara, baik lewat tulisan
atau pun lobi. Jangan teruskan acara ini! Jangan merusak dan memecah
belah bangsa kita dengan cara-cara yang akan memunculkan kontroversi.
Karena itu, kami para pimpinan pesantren, tidak tinggal diam! Itu
makanya saya turun langsung berdemonstrasi memprotes acara Miss World ini !!!!!”
“Apa Pak Kiai mau memaksakan untuk dibatalkan, padahal pemerintah pun sudah melokalisasi acara ini di Bali!”
“Orang seperti saya ini tidak punya kuasa. Bagaimana mau
memaksakan? Yang memaksakan itu yang punya uang, yang punya televisi,
yang punya keberanian menantang Tuhan! Yang bertanggung jawab dunia
akhirat itu ya Pak SBY dan para pejabat di bawahnya. Saya hanya
menyampaikan aspirasi sekuat tenaga dan pikiran. Terserah pemerintah dan
panitia penyelenggara mau dengar atau tidak!”
“Maaf, Pak Kiai, apa tidak sebaiknya Pak Kiai menerima
kenyataan, bahwa masyarakat kita sekarang sangat sulit menerima
pemahaman seperti Pak Kiai ini. Pak Kiai akan dianggap makhluk aneh,
karena pada umumnya manusia senang melihat tontonan yang melibatkan
orang-orang cantik. Bahkan, sekarang, artis-artis jauh lebih popular
daripada ulama. Apa Pak Kiai tidak bisa berkompromi sedikit?”
“Kebenaran itu, tidak bisa dikompromikan. Kita harus
menyatakan yang haq itu haq, yang benar itu benar. Katakan saja,
meskipun itu pahit; begitu pesan Nabi kita, Nabi Muhammad saw. Dan saya
yakin, kebenaran itu pasti ada pendukungnya. Mungkin tidak banyak. Tapi,
yang sedikit itu, jika serius, akan mampu memimpin yang banyak. Anak
babi itu banyak; anak singa sedikit. Tapi, anak singa makan babi”.
“Kamu kenapa …. Kok kelihatan gelisah. Kamu kan tidak ada hubungan apa-apa dengan panitia Miss World?”
“Maaf… maaf… Pak Kiai, benar-benar saya minta maaf ya Pak
Kiai…. Saya ke sini sebenarnya ada maksud membawa amanah dari seseorang
yang meminta saya melunakkan pendapat Pak Kiai soal Miss World ini…”
“Ya, saya sudah menduga… tidak biasa-biasanya kamu datang ke
sini, sejak lulus pesantren dua tahun lalu…saya menduga pasti kamu
membawa misi sesuatu! Terus, … kamu sendiri bagaimana sikapmu terhadap
kontes Miss World ini.”
“Saya coba pikir-pikir Pak Kiai. Saya baru mendengar hujjah yang agak jelas tentang masalah ini.”
“Begini, kuncinya ada di hatimu; kuncinya pada kejujuranmu. Apa kamu jujur? Apa kamu jujur kalau kamu Muslim?
Apa kamu jujur dengan ikrarmu, dengan syahadatmu; bahwa Allah itu
Tuhanmu, bukan cukong penyandang danamu; bukan hawa nafsumu! Apa kamu
masih jujur dengan ikrarmu. Apa kamu masih mengakui Nabi Muhammad saw
itu suri tauladan dan idolamu; apa idolamu sudah berubah menjadi Che
Guevara atau Hartawijaya?
“Ya Pak Kiai, saya jujur insyaAllah! Tapi, kan ini masalah
bangsa Pak Kiai? Bukan sekedar masalah agama saja! Ada yang bilang,
secara hukum positif di Indonesia, tidak ada yang dilanggar dalam kontes
Miss World. Bagaimana itu Pak Kiai?”
“Saya tidak habis pikir, jika yang ngomong seperti
itu orang Islam. Di Indonesia ini, menurut hukum positif, berzina saja –
asal suka sama suka dan sama-sama dewasa – tidak melanggar hukum
positif. Apa lalu orang boleh berzina, karena tidak melanggar hukum
positif? Cari pasal dalam KUHP, apa ada larangan masuk masjid dengan
mengenakan bikini !!! Sudahlah … kamu
harusnya sering-sering silaturrahim ke sini. Kamu sudah terlalu banyak
bergaul dengan orang-orag liberal, sampai pikiranmu mulai rusak; tidak
bisa lagi membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Hati-hati,
kamu sepertinya sudah mulai terbuai dengan pujian dan sedikit
popularitas yang kamu nikmati sekarang!”
Santri terdiam. Ia tak sanggup lagi menatap wajah gurunya.
Kata-kata Kiai seperti menyayat-nyayat perasaannya. “Doakan saya Pak
Kiai, semoga saya masih bisa istiqamah!”
“Saya selalu mendoakan. Tapi, kamu sendiri harus punya niat untuk tidak sesat!”
“Baik, Pak Kiai… saya mohon ijin untuk pamit.”
“Ya, jaga diri. Ingat orang tuamu, berharap kamu jadi anak shalih!”
Sejurus kemudian, sebuah sedan hitam metalik, membawa Santrinya meninggalkan pesantren.
Oleh: Dr. Adian Husaini - Ketua
Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun
Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com.
0 komentar:
Posting Komentar